Kritik tanda sayang
Akhir-akhir ini, saya jadi sering ikutan David nonton talk show (mostly about politics) di Comedy Central channel: The Daily Show with Jon Stewart dan The Colbert Report... dan kayaknya jadi ketagihan nonton dan tidak sabar untuk lihat episode besoknya. Mereka tuh membicarakan politik seperti tanpa beban (memang harus begitu kalo meng-klaim ini negara menganut faham demokrasi dengan pers-bebas). Mengolok-olok presiden dan para anggota kongres yang terhormat merupakan bagian yang tidak pernah terlupakan dalam setiap episodenya. Sangat menarik!
Mengapa saya bilang sangat menarik? Coba saja bandingkan dengan melihat kasus pelecehan presiden (Megawati, waktu itu) beberapa waktu lalu di negara kita. Seandainya itu (berlaku) di sini, si Jon Stewart dan si 'narcist' (hehehehe) Stephen Colbert pastilah sudah jadi penghuni hotel rodeo berbintang lima (pake' plus lagi!). Apalagi waktu jaman Pak Harto dulu... walaaaah... both of them pasti sudah "lenyap tanpa bekas" (yang biarpun agen CSI paling top kayak Grissom tak bakalan bisa melacak trace-nya, hahahahaha!). Yang lebih menarik lagi, seringkali habis mengolok-olok (kadang malah kesannya lebih jahat lagi), "oknum" yang diolok kemudian jadi bintang tamu yang diwawancarai pada episode berikutnya (lihat episode bintang tamu: Sharon Stone dan Senator John McCain). Pers-bebas dan bertanggungjawab! Yang dikritik dan mengkritik... sama bertanggung jawab (dan yang jelas bukan "jawaban tanggung", hehehehehe).
Saya jadi penasaran... apa Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI kita serta para wakil rakyat bisa terima dengan hati lapang kalau dikritik (baca: diolok-olok) seperti halnya disini? Apa para wartawan kita bisa dengan "lapang"nya menulis dan berani bertanggungjawab (dalam hal ini menulis dengan resources yang jelas dan terbuka) seperti pers di sini? Mmmmm....
Semalam saya marah besar. Waktu menyuruh Iman untuk siap-siap tidur (ya wudhu, gosok gigi, menyisir, sholat isya, dst) dan mengingatkan kalo sekarang sudah jam 9:15 (jam tidurnya seharusnya 8:30!), dia balas (seenaknya) dengan "it's not 9:15... it's 9:13!", saya jadi naik darah. Saya bilang, it's not the point! dan kalo saya jadi kamu dan bilang begitu ke ibuku, saya pasti sudah dihukum seumur hidup. It's totally rude dan dosa kalo anak ngomong ke orangtua ma'bali-bali (Bahasa Bugis = membantah dengan tidak sopan)... kesannya sangat patoa-toai (Bahasa Makassar = mengolok-olok)!
Nah, kalo pers (wartawan) dalam hal ini "anak" patoa-toai ke para petinggi negara seperti presiden dan wakil rakyat sebagai "orangtua"... apa si "anak" kena hukuman ya?
Mengapa saya bilang sangat menarik? Coba saja bandingkan dengan melihat kasus pelecehan presiden (Megawati, waktu itu) beberapa waktu lalu di negara kita. Seandainya itu (berlaku) di sini, si Jon Stewart dan si 'narcist' (hehehehe) Stephen Colbert pastilah sudah jadi penghuni hotel rodeo berbintang lima (pake' plus lagi!). Apalagi waktu jaman Pak Harto dulu... walaaaah... both of them pasti sudah "lenyap tanpa bekas" (yang biarpun agen CSI paling top kayak Grissom tak bakalan bisa melacak trace-nya, hahahahaha!). Yang lebih menarik lagi, seringkali habis mengolok-olok (kadang malah kesannya lebih jahat lagi), "oknum" yang diolok kemudian jadi bintang tamu yang diwawancarai pada episode berikutnya (lihat episode bintang tamu: Sharon Stone dan Senator John McCain). Pers-bebas dan bertanggungjawab! Yang dikritik dan mengkritik... sama bertanggung jawab (dan yang jelas bukan "jawaban tanggung", hehehehehe).
Saya jadi penasaran... apa Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI kita serta para wakil rakyat bisa terima dengan hati lapang kalau dikritik (baca: diolok-olok) seperti halnya disini? Apa para wartawan kita bisa dengan "lapang"nya menulis dan berani bertanggungjawab (dalam hal ini menulis dengan resources yang jelas dan terbuka) seperti pers di sini? Mmmmm....
Semalam saya marah besar. Waktu menyuruh Iman untuk siap-siap tidur (ya wudhu, gosok gigi, menyisir, sholat isya, dst) dan mengingatkan kalo sekarang sudah jam 9:15 (jam tidurnya seharusnya 8:30!), dia balas (seenaknya) dengan "it's not 9:15... it's 9:13!", saya jadi naik darah. Saya bilang, it's not the point! dan kalo saya jadi kamu dan bilang begitu ke ibuku, saya pasti sudah dihukum seumur hidup. It's totally rude dan dosa kalo anak ngomong ke orangtua ma'bali-bali (Bahasa Bugis = membantah dengan tidak sopan)... kesannya sangat patoa-toai (Bahasa Makassar = mengolok-olok)!
Nah, kalo pers (wartawan) dalam hal ini "anak" patoa-toai ke para petinggi negara seperti presiden dan wakil rakyat sebagai "orangtua"... apa si "anak" kena hukuman ya?
Wait... did I say "wakil rakyat"??? Ah... then it's fine. Mereka wakil kita kok... pembawa aspirasi kita... jadi ndak 'papa kalo kita patoa-toai ke mereka. Bukankah kalo mereka 'meléncéng' dan tidak mewakili kemauan/aspirasi kita, kita perlu melakukan sesuatu? Yaaah... bukankah patoa-toai juga salah satu "alat" untuk menegur atau mengingatkan? Cuma, bagaimana caranya supaya bisa lebih banyak belajar untuk memilih metode yang tepat dalam menegur... dan tentu saja... dengan penuh tanggung jawab.
IMHO, saling kontrol merupakan salah satu metode yang sangat jitu untuk bisa tetap "on the right track". Kata orang bijak, kritik itu tanda sayang. Belajar menerima kritik dengan harapan bisa menjadi lebih baik di masa datang memang "ok punya"... tapi kenyataannya? perlu waktu yang panjang untuk bisa tersenyum (dan kemudian introspeksi) bila mendengar orang memperolok-olok kita. Jadi ingat kasus kartun jahat tentang Rasulullaah saw beberapa waktu lalu. Ah, seandainya Rasulullaah saw ada di sini, beliau pasti cuma tersenyum sama si kartunis. Bahkan mungkin beliau akan mengirimkan satu set alat gambar yang terbaik agar si kartunis bisa lebih 'berkarya' (bukannya berkarya yang 'jahat')... bukannya marah membabi-buta (malah dengan kekerasan) bukan kepalang seperti reaksi saudara muslim sedunia yang banyak kita lihat di tv dan media cetak.
Ingat kisah Rasulullaah saw dengan tetangganya yang orang Yahudi? I remember an article than David gave to me long ago. Yes,
Membalas kritikan dengan senyum dan membuktikan (apa yang diolok-olokkan itu tidak benar) dengan tindakan positif seperti teladan Rasulullaah saw adalah sangat sangat indah. Nah, itu artinya... kritik itu tanda sayang ...
Ah... episode nanti malam (Jon Stewart dan Stephen Colbert's) tentang apa ya?
Ah... episode nanti malam (Jon Stewart dan Stephen Colbert's) tentang apa ya?
0 Comments:
Post a Comment
<< Home